Kamis, 13 Januari 2011

MAKALAH

‘AAM DAN KHASH

Oleh:

EVI MUKHARROFIN

EVITA DWI WAHYUNI

FARIHATUS SHINAH

IDA NUR WAKHIDAH

IRMA ERVIANA

MADRASAH ALIYAH MA’ARIF 7 SUNAN DRAJAT

BANJARWATI PACIRAN LAMONGAN

TAHUN PELAJARAN 2010/2011


‘AAM DAN KHASH

A. ‘Aam

Al-‘Aam (keumuman) ialah lafal yang menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh satuan pengertian yang dipahami, seperti:

¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ

Artinya: “Sesungguhnya Manusia itu dalam kerugian”. (Q.S. Al-Ashr: 2)

Lafal insan adalah umum yakni menunjukkan pengertian menyeluruh atas semua orang. Maka apabila lafal itu di uraikan ia pun kembali kepada seluruh orang-orang yang dimaksud oleh pengertian itu yang ditetapkan baginya. Kata “Insan” agar hukumannya menunjukkan begini sedangkan khash (kekhususan) adalah kebalikan dari “Aam.

  1. Pembahasan ‘Aam.

‘Aam adalah kata yang dibentuk untuk menunjukkan arti yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas untuknya kata-kata kerja dan makna di sifati dengan sifat umum, sehingga tidak bisa diucapkan pemberian seseorang adalah umum, karena pemberian seseorang kepada Zaid berbeda pemberiannya kepada Umar dari aspek bahwa pemberian adalah sebuah perbuatan itu satu yang berupa pemberian yang penisbatannya kepada Zaid dan Umar adalah satu. Tidak boleh diucapkan ada itu ‘Aam, karena keteraturannya pada sosok dan sifat, karena tidak ada dalam wujud satu makna yang homonim di antara hal-hal yang wujud, sekalipun harfiyahnya menurut akal satu.

Dengan ini jelaslah makna ungkapan kita bahwa umum adalah termasuk karakter – karakter kata dari aspek penunjukannya pada beberapa makna, sehingga makna dan kata kerja tidak disifati dengan umum. Ibn Al Hammam memilih bahwa makna terkadang di sifati umum secara harfiyah sehingga umum menjadi yang musytarah yang maknawi diantara keduanya.

Hal ini didasarkan pada bahwa makna umum komprehensip (syumul) kepada sesuatu karena makna yang beragam. Masing-masing makna dan kata adalah obyek pembicaraan kekoprehensifan ini. Dan di jelaskan bahwa perbedaan ada pada hal yang sifatnya lafdziy, yang kemunculannya diakibatkan dalam perbedaan dalam makna yang umum yaitu kekomprehensifannya (syumul) sesuatu karena makna yang beragam yang dianggap sebagai kesendirian sesuatu yang komprehensif adalah wujudnya yang mencegah penyebutan secara harfiyah pada maknanya karena sesuatu itu tidak memiliki sifat keumuman, kecuali makna yang ditangkap dalam hati, dan menurut ulama Ushul wujudnya tidak pernah ada.

  1. Bentuk Kata Yang Umum

Bentuk – bentuk keumuman ialah isim – isim syarat dan istifham (kata tanya) dan maushul (kata sambung) dan kata yang dibentuk dengan “Al” untuk jenis dan nakiroh menafikan dan jamak yang dibentuk dengan “Laam” dan idhafah (aneksi).

  1. Kapan diperkenankan menggunakan (Al-‘Aam)?

Telah diterangkan bahwa kata yang umum itu meliputi seluruh satuan – satuannya dan kadang terjadi takhsish (pengkhususan) sebagaimana yang akan dijelaskan. Bila dikhususkan maka kata yang umum tersebut tidak meliputi kecuali apa yang dimaksud oleh kata yang khusus (Al-Khash) itu. Jika kata yang umum di riwayatkan kepada seorang ahli Fiqih, apakah boleh baginya untuk menetapkan hukum dengan keumuman kata tersebut tanpa meneliti dalil-dalil syara’ yang lain yang mengkhususkannya atau dia menunda untuk menetapkan hukum sehingga meneliti lebih dahulu kata yang kengkhususkan? Bila kata wajibnya untuk meneliti, maka sampai batas manakah wajibnya menunggu itu? Apakah sampai hal itu memenuhi dugaannya?

Banyak ahli ushul meriwayatkan adanya ijma’ (yang menegaskan) atas ketidakbolehan menggunakan kata yang umum sebelum meneliti dalil-dalil yang mengkhususkannya.

Al-Ghazali berkata: tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bahwa tidak boleh tergesa-gesa menetapkan hukum dengan yang umum sebelum mencari dalil-dalil yang kenghususkannya. Karena kata yang umum dapat menjadi dalil dengan syarat tidak adanya kata yang mutakhsish, sementara syaratnya belum tampak Ijma’ ini juga diriwayatkan oleh orang lain seperti Al-Almudi dan Ibnu Al-Hajib.

Riwayat ini musykil, karena ungkapan Al-Baidhawi dalam (Al-Minhaj) menunjukkan bahwa masalah itu adalah obyek perselisihan dimana ia bekata: Kata yang umum di jadikan dalil selama tidak tampak kata yang mentakhsisnya. Ibnu suraij mewajibkan pencariannya kemudian berdalil atas pendapatannya. Al-Asnawi berkata: Dalam masalah itu ada dua pendapatan madzhab: Al-Shairafi membolehkannya dan Ibnu Suraij melarangnya. Demikian yang diceritakan oleh Al-Imam dan pengikut-pengikutnya serta tidak mengunggulkan salah satu dari keduanya dalam kedua kitabnya (Al-Mahsul dan Al-Muntakhab) akan tetapi ia menjawab dalil Ibnu Suraij dan di dalam jawabannya itu terdapat kecenderungan kepada kebolehan menggunakan kata yang umum sebagai dalil. Oleh karena itu penulis kitab (Al-Hasil) menjelaskan bahwa pendapat itulah yang terpilih, kemudian pengarangnya menyebutkan pendapat itu dalam kitab tersebut, akan tetapi ia memutuskan pelarangan menggunakan kata yang umum sebagai dalil dalam (kitab Al-Mahsul) pada pembinaan terakhir atas penundaan keterangan tentang masa pembicaraan (waktu Khithab).

Ulama’ periode akhir berkeinginan menggabungkan antara pendapat orang yang menyebutkan Ijma’ atas ketidak bolehan menggunakan kata yang umum (al-‘Aam) sebelum meneliti dalil yang kenghususkannya dan pendapat Al-Shairafi bahwa perbedaannya hanya dalam keyakinan tentang kata yang umum sebelum masuknya waktu yang menggunakannya, beliau menyebutkan ketika pendapat yang umum dan belum masuk waktu menggunakannya, maka harus meyakini keutamaannya, kemudian jika ada yang mengkhususkannya, maka berubahlah keyakinan itu, Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Haramain, Al-Mahmudi dan lainnya.

Adakalanya dikatakan bahwa membedakan antara meyakini kata yang umum dan menggunakannya adalah keputusan dengan pendapatan sendiri, karena keyakinan itu adalah menggunakannya itu sendiri. Ungkapan Al-Baidhawi tidak mengandung ta’wil itu maka tidak alasan mengatakan bahwa masalah itu adalah khilafiyah khususnya Ibn Al-Subki mengatakan sesuai apa yang telah di ceritakan oleh orang yang mensyarahi kitab (Al-Tahrir) darinya bahwa anggapan Ijma’ atas keharusan meneliti dalil yang mentakhisish kata yang umum adalah tercegah, maka masalah itu populer dengan perbedaan pendapat diantara para imam kita, ini diceritakan oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Asyfarayini dan Syekh Abu Ishaq Al-Syirazi serta orang – orang yang memperluas pembicaraannya demikian juga Al-Imam Al-Razi dan pengikuti – pengikutnya.

Ungkapan Abu Ishaq Al-Syirazi dalam kitab Al-Luma’: ketika terdapat lafal – lafal umum, apakah harus meyakini keumumannya dan menggunakannya sesuai dengannya sebelum meneliti lafal yang menghususkannya? Sahabat – sahabat kami berbeda pendapat di dalamnya.

Ada yang berbendapat harus ada keyakinan yang kuat dan ketenangan hati bahwa tidak ada dalil, adapun ketika seseorang merasakan adanya kebolehan ganjil dan tidak menentramkan hatinya akan kemungkinan itu, maka bagaimana dia menetapkan hukum dengan dalil yang memperbolehkan menetapkan hukum haram? Segolongan ulama’ berpendapat harus dipastikan ketidakadaan dalil-dalil itu dan itulah pendapat Al-Qadhi, karena keyakinan yang pasti tanpa dalil yang pasti adalah kebodohan.

Kedua pendapat terakhir adalah sama, karena tujuan keduanya adalah terjadinya keyakinan yang pasti akan ketidakadaan yang kengkhususkan yang unggul adalah pendapat pertama, karena memastikan dengan ketidakadaan dalil yang mengkhususkan tidak di anggap dan yang harus hanyalah pencurahan tenaga hingga terjadi duganaan kuat dan ini adalah tujuan yang dibebankan terhadap para mujthahidin.[1]

  1. Ruang Lingkup ‘Aam

Setiap lafadz (kata) mengandung dua lingkup pembahasan yaitu (1) Lafadz itu sendiri, yang tersusun dari huruf – huruf dan (2) makna atau arti yang terkadung dalam lafadz itu.

Para ulama’ ushul membahas persoalan tentang lafadz ‘Aam, khusush, mutlaq dan muqoyyad dalam konteks “Apakah berada dalam lingkup ladadz atau lingkup makna”.

1. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ‘Aam itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafadz. Karena ia menunjukkan pengertian yang terkandung di dalamnya.

2. Sebagian kecil ulama’ berpendapat bahwa ‘Aam itu juga menyangkut makna.

3. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa lafadz ‘Aam dapat juga digunakan untuk makna, Namun penggunaan untuk makna itu hanya secara majazi, bukan dalam penggunaan yang sebelumnya, sebab kalau ia hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna, ini merupakan tidak demikian halnya, karena itu, jelaslah bahwa ternyata tidak demikian halnya. Karena itu, jelaslah bahwa ‘Aam dan mutlak itu menyangkut lafadz atua ucapan. Umum itu juga tidak berlaku untuk “perbuatan” karena perbuatan itu berlaku terhadap satu keadaan dalam satu tingkatan” sedangkan ‘Aam mencakup segala sesuatu yang berbeda – beda.

4. Daqhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitkan kepada ‘Aam kecuali hanya lafadz.

5. As-Sarkhisi (dari kalangan ulama’ hanafi) berpendapat bahwa ‘Aam tidak dapat digunakan pada makna kecuali bila penggunaannya hanya secara lajazi, karenanya perlu penjelasan untuk itu.

6. Segolongan ulama’ Irak berpendapat bahwa ‘Aam itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hukum, dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran akhirnya.[2]

B. Khash(khusus)

Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz yang mengandung dan menunjukkan kepada makna tertentu kepada kecuali ada Qarina yang menunjukkan kepada makna lain. Artinya lafadz yang khash tersebut telah mengandung makna yang jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan sebuah hukum yang pasti.Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau menghendaki arti lain dari padanya.

Kekhususan itu meliputi muthlaq dan muqoyyad, amr (perintah), nahi (larangan), dan ‘adad (bilangan). Pembahasan tiga cakupan pertama adalah tugas dari ilmu ini, karena ini adalah dasar tasyri’lafzhi.

1. Contoh-contoh lafadz khash

Lafadz khash dalam Al-Qur’an menggunakan beberapa bentuk kata yang semuanya menunjukkan kepada kejelasan arti dan makna yang dikandungnya. Contohnya antara lain :

a. Jelas bilangannya, contoh :

Maka kafarat (melanggar) sumpah

ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB

“Itu adalah memberi”sepuluh orang miskin (Q.S.Al-Maidah: 89)

b. Jelas keadaannya

4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3

“Sesudah dipenuhi”wasiat yang ia buat atau sudah dibayar utangnya.

c. Jelas jenisnya. contoh

ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ̓ÌYσø:$#

Di haramkan bagimu (memakan bangkai,darah,dan daging babi)[3]

2. Pengertian khash

Pengertian khash (khusus) adalah lawan dari pengertian ‘Aam (umum). Dengan demikian bila telah mamahami pengertian lafadz ‘Aam secara tidak langsung. Juga dapat memahami pengertian lafadz khash. Karenanya tidak semua penulis yang menguraiakan tentang lafadz khash dalam bukunya memberikan pengertian lafadz khash itu secara definitife.

Al-amidi sebelum mengemukakan definisi, ia mengkritik penulis yang mendefinisikan khash dengan :” setiap lafadz yang bukan lafadz ‘Aam.

Sedangkan definisi khash yang diajukan al-amidi adalah satu lafadz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.

Definisi yang sedikit berbeda yang dirumuskan Al-Khudahari Belk ialah Lafadz yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara mandiri.

Menurut definisi terakhir ini lafadz khash itu ditentukan untuk satu satuan secara perorangan seperti si Ali atau satu satuan secara kelompokseperti laki-laki atau beberapa satuan yang jumlahnya tidak terbatas seperti “kaum” atau lafadz lain dalam bentuk satuan yang tak terbatas, tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya (yang masuk dalam satuan’am)

Khusush adalah lafadz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khash dengan khusush meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan.

Pengertian khash adalah apa yang sebenarnay dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafadz, Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kamuan.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa khash itu adalah apa yang mencapai kapada sesuatu yang tertentu melalui ketentuan bahasa. Sedangkan khusush adalah apa yng mencapai sesuatu bukan yang lainnya. Namun boleh mencapai yang lainnya itu

3. Ketentuan Lafadz Khash dalam Garis Besarnya.

a. Bila lafadz khash lahir dalam bentuk nash syara’(teks hukum) ia menunjukkan artinya yang khas secara Qath’i al Dialah (penunjukan yang pasti dan menyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu.Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafadz itu dalah Qath’i.

b. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafadz khas itukepada arti lain,mak arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dia kehendaki oleh dalil itu. Umpamanya sabda nabi:

فى كل اربعين شاة شاة

“Untuk setiap ekor kambing (zakatnya) satu ekor kambing”

c. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat “ ’am ” dan di temukan pula hukum yang “Khusus” dalam kasus lain, maka lafadz khas itu membatasi pemberlakuan hokum ‘am itu. Maksudnya lafadz khas itu menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafadz ‘am itu hanya sebagian afradnya saja yaitu sebagian yang tidak disebutkan dalam lafadz khas.

d. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dengan dalil ‘am terdapat perbedaan pendapat.

1) Menurut ulama Hanafiyah seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya ,maka dalil khasmentakhsiskan yang ‘am karena tersedianya persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya disisni ada dua kemungkinan (1). Bila lafadz ‘am terkemudian datangnya mak lafadz ‘am itu menasakh lafadz khas. (2). Bila lafadz khas yang terkemudian datangnya maka lafadz lafadz khas itu menasakh lafadz ‘am dalam sebagian mufrodnya.

2) Menurut jumhur ulama’tidak tergambar adanya pembenturan antara dalil ‘am dengan dalil khusush karena keduanya bila datang pada waktu bersamaan maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘am karena yang umum itu adalah dalam bentuk lahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan disamping untuk diamalkan menurut keumumanya hingga dikatahui adanya dalil khash. Lafadz khash itulah yang menjelaskan lafadz ‘am.[4]


SOAL

1. A’am tidak dapat digunakan pada makna kecuali bila penggunaanya hanya secara majazi’.karena penjalasan adalah pendapat dari……..

a. As-sarktusi c. Abu Ishaq

b. Qodhi bdul Wahab d. Al-Ghozali

Jawaban A

2. Berikut ini bentuk kata A’am adalah kecuali…………..

a. Istifham c. Amar

b. Idhofah d. Malishul

Jawaban C

3. ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB

Lafadz diatas adalah contoh khas yang dilihat dari kejelasan?

a. Jenisnya c. Sebabnya

b. Keadaanya d. Bilangannya

Jawabanya D

4. Apa arti lafadz tersebut?

a. Darah daging c. Memakan bangkai

b. Sesudah dibayar utangnya d. Belum bayar utang

Jawabanya B

5. فى كل اربعين شاة شاة

Maksud cdari sabda diatas adalah

a. Suatu kasus adalah sifatnya bersifat ‘am c.Dalildari pngertian khash

b. Dalil yang menghendaki (pemahaman lain) d.Dalil Ruang lingkup am

Jawabanya B


DAFTAR PUSTAKA

Blek, syaikh Muhammad Al-Khudari .Usul Fiqih (Jakarta:Pustaka Amani,2007)

As’ad, Mahrus,sy, Ahmad Wahid, Memahami fiqih MA kelas XII. (Bandung): CV.amirico, 2006)

Syarifudin, Amir Ushul Fiqih (Jakarta:Kencana Prenada Media Group ,2009)



[1] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 316

[2] Prof. Dr. It. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 68

[3] Drs. H, Mahrus As’ad, M.Ag, Drs. A. Wahid Sy. M.Ag. (Memahami Fiqih, Kelas XII, Bandung CV, Armico: 2006) 78

[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) 86

SALAF
(Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)

Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad Salaf artinya ulama terdahulu. Sedangkan menurut As-Sahrastani ulama salaf adalah yang tidak menggunakan Ta’wil (dalam penafsiran ayat-ayat mutasabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antharopomorshiphisme).
Ibnu Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (Naql) daripada dirayah (aqil).
2. Dalam persoalan-persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (faru’ ad-din).
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak.
4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan ma’na lahirnya dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Beberapa ulama salaf dengan beberapa pemikirannya. Terutama yang berkaitan dengan persoalan – persoalan kalam:
A. Imam Ahmad Bin Hanbal
1) Riwayat singkat hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Bahdad tahun 164 H / 780 M. Dan meninggal 241 H/855 M. Sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahir. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar di malam hari ia juga dikenal sebagai seorang dermawan.
2) Pemikiran teori Ibn Hanbal
a. Tentang ayat – ayat Mutasyabihat
b. Tentang status Al-Qur’an
B. Ibn Taimiyah
1) Riwayat Singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Tadiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qo’dah tahun 729 H.
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 thn. Ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan – pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.
2) Pemikiran Teologi Ibn Taimiyah
Pikiran – pikiran Ibn Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur dan memiliki pandangan – pandangan tentang sifat – sifat Allah.
a) Percaya sepenuh hati terhadap sifat – sifat Allah yang ia sendiri atau Rasulnya menyifati seperti:
1. Sifat Salbiyah yaitu: Qidam, Baqo’, Mukhalafadhu lil hawaditsi, hiyamuhu binafsihi dan wahdaniyah.
2. Sifat Ma’ani yaitu: Qudrah, irodah, sama, bashar, hayat, Ilmu, dan kalam, dll.
b) Percaya sepenuhnya terhadap nama – namanya, yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan. Seperti Al-Awwal, Al-Akhir, Azh-Zhahir. Al-Bathin, Al-Alim, Al-Qadir, Al-Hayya, Al-Hayyum, As-Sami, dan Al-Bashir.
c) Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1. Tidak menghilangkan pengertian lafaz-lafaz (minghoir Ta’thil)
2. Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz (min ghoir tahrif)
3. Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, menurutnya ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak mentaf-simkan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak bertanya-tanya tentangnya.

KHALAF : AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Ungkapan Ahlussunnah (Sering disebut juga dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu Umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah, pengertian keduanya inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
A. Al-Asy’ari
1. Riwayat Lengkap Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.
Menurut Ibn Asakir, Ayat Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Tetapi Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat disana pada tahun 324 H / 935 M.
2. Dokrin – dokrin teologi Al-Asy’ari
Pemikiran – pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
d. Qadimnya Al-Qur’an
e. Melihat Allah
f. Keadilan
g. Kedudukan orang berdosa.
B. Al-Maturidi
1) Riwayat singkat Al-Maturidi
Abu Mansur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya mtidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat tahun 333 H / 944 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih di konsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham – faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam. Yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
2) Dokrin – dokrin teologi Al-Maturidi
a. Akal dan Wahyu
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
b. Perbuatan manusia
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan
d. Sifat tuhan
e. Melihat tuhan
f. Kalam tuhan
g. Perbuatan manusia
Setiap perbuatan tuhan yang bersifat menciptakan atau kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya kewajiban – kewajiban antara lain:
1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban – kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan.
Manusia juga diberi kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2. Hukuman atau ancaman dan janji tersebut karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pungutan Rasul
i. Pelaku dosa besar (Mintakib Al-Kabir)

SEJARAH BAHASA INDONESIA

ASAL USUL BAHASA INDONESIA

Bahasa adalah yang paling baik dalam menunjukkan identitas kultural suatu bangsa.Dengan kata lain bahasa menunjukkan bangsa. Itu sebabnya penting bagi bangsa Melanesia melestarikan sekitar 250 bahasa etnisnya dari arus besar dominasi ‘bahasa Indonesia’. Sejauh mana dominasi itu? Apa dampaknya? Bagaimana proses historisnya? Menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, penting sebagai upaya melestarikan identitas bangsa Melanesia, yang selama ini ‘lebur’ dalam “NKRI” dan dalam banyak hal justru mengalami Jawanisasi. Ini kontradiktif dengan gagasan Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.

Dewasa ini, bangsa Melanesia menggunakan bahasa Indonesia, sebagaimana bahasa ini adalah “bahasa pemersatu”, yang mendapat tempat utama dalam media komunikasi formal, baik sebagai bahasa teks maupun lisan, disekolah, perkantoran dan tentu saja pada media cetak

dan elektronik. Memang ada sisi baiknya, bahwa ‘bahasa Indonesia’ memainkan peran penting sebagai “jembatan” komunikasi menerobos diversitas linguistik yang berbeda satu sama lain (termasuk di Papua), dan memungkinkan para penuturnya menjangkau dunia pendidikan modern. Namun mesti disadari pula akan sisi buruknya, terutama bahwa ‘bahasa Indonesia’ menjadi dominan sehingga bahasa-bahasa lain keumgkinan akan tersisihkan. Entah bahasa Batak, Jawa, Bali dan termasuk 250 bahasa etnis Melanesia di tanah Papua. Padahal Bahasa Indonesia baru digunakan secara serius sejak 1950 di Papua oleh para pendakwah dan pejabat kolonial dalam rangka ‘menyatukan’ wilayah Papua dengan wilayah Hindia Belanda lainnya. Hal ini seiring dengan kebijakan diskriminasi kolonial Belanda yang hanya memperbolehkan bahasa Belanda diajarkan pada garis keturunan tertentu saja.

Apabila menenggok lebih jauh ke masa sebelumnya, maka bangsa Melanesia sebenarnya belum cukup dikenal para nasionalis Indonesia, selain sebagai koloni Belanda yang dalam banyak hal tidak terlibat langsung dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Diluar itu, wilayah ini cukup terisolir dari koloni Belanda di sebelah barat, kecuali wilayah pesisir utara yang menjalin hubungan dagang tradisional dengan Maluku. Selebihnya hanya bayang-bayang penjara besar - Boven Digul, di tengah sebagian besar masyarakat yang masih hidup di zaman batu (Benedict Andersson: 2002) Ini berarti bangsa Melanesia, tidak terlibat dalam beberapa proses sejarah penting, terkait dengan penggunaan bahasa Indonesia. Pertama, saat bahasa Indonesia dipermaklumkan sebagai bahasa persatuan pada Sumpah Pemuda 1928, tidak ada yang mewakili bangsa Papua dalam peristiwa tersebut, kedua, saat bahasa Indonesia dianjurkan semasa pendudukan Jepang untuk menggusur bahasa Belanda, hal itu tidak terjadi di Papua, apalagi karena pertimbangan militer dan kondisi sosial politik waktu itu, Jepang membagi Hindia Belanda menjadi tiga wilayah koloni terpisah, dan Papua berada dibawah Angkatan Laut yang berpusat di Makasar, ketiga, saat bahasa Indonesia dipergunakan sebagai wahana perlawanan menyerang kolonialisme yang dipuncaki proklamasi kemerdekaan RI 1945, justru bangsa Papua belum ‘mengenal’ NKRI. Dari tiga fakta ini, bisa dibilang bahasa Indonesia adalah produk historis yang dalam prosesnya tidak sepenuhnya melibatkan bangsa Melanesia. Barulah pada tahun 1963 ketika Orde Lama mencanangkan operasi Trikora, dan disusul pelaksanaan Pepera semasa Orde Baru tahun 1969 bahasa Indonesia mulai dijadikan ‘bahasa resmi’ di Papua. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Republik Indonesia yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Dasar RI 1945, Pasal 36. Ia juga merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia sebagaimana disiratkan dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Meski demikian, ia hanya sebagian kecil dari penduduk Indonesia yang benar-benar menggunakannya sebagai bahasa ibu karena dalam percakapan sehari-hari yang tidak resmi masyarakat Indonesia lebih suka menggunakan bahasa daerahnya masing-masing sebagai bahasa ibu seperti bahasa Melayu pasar, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dll. Untuk sebagian besar lainnya bahasa Indonesia adalah bahasa kedua dan untuk taraf resmi bahasa Indonesia adalah bahasa pertama.

Bahasa Indonesia ialah sebuah dialek bahasa Melayu yang menjadi bahasa resmi Republik Indonesia Kata "Indonesia" berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang berarti "pulau". Jadi kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India

Bahasa Indonesia diresmikan pada kemerdekaan Indonesia, pada tahun 1945. Bahasa Indonesia merupakan bahasa dinamis yang hingga sekarang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan, maupun penyerapan dari bahasa daerah dan asing. Bahasa Indonesia adalah dialek baku dari bahasa Melayu yang pokoknya dari bahasa Melayu Riau sebagaimana diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara dalam Kongres Bahasa Indonesia I tahun 1939 di Solo, Jawa Tengah, "jang dinamakan 'Bahasa Indonesia' jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari 'Melajoe Riaoe', akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman dan alam baharoe, hingga bahasa itoe laloe moedah dipakai oleh rakjat di seloeroeh Indonesia; pembaharoean bahasa Melajoe hingga menjadi bahasa Indonesia itoe haroes dilakoekan oleh kaoem ahli jang beralam baharoe, ialah alam kebangsaan Indonesia". atau sebagaimana diungkapkan dalam Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, Sumatra Utara, "...bahwa asal bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju. Dasar bahasa Indonesia ialah bahasa Melaju jang disesuaikan dengan pertumbuhannja dalam masjarakat Indonesia". Secara sejarah, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa Melayu yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah kita katakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap "lahir" atau diterima keberadaannya pada tanggal 28 Oktober 1928. Secara yuridis, baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya.

Fonologi dan tata bahasa dari bahasa Indonesia cukuplah mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang digunakan sebagai penghantar pendidikan di perguruan-perguruan di Indonesia. Bahasa Melayu di Indonesia kemudian digunakan sebagai lingua franca (bahasa pergaulan), namun pada waktu itu belum banyak yang menggunakannya sebagai bahasa ibu. Biasanya masih digunakan bahasa daerah (yang jumlahnya bisa sampai sebanyak 360).

Awal penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, dicanangkanlah penggunaan Bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pascakemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih Bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari Bahasa Melayu yang dituturkan di Riau. Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan Negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut: Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang dipergunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat menimbulkan kesan negatif yang lebih besar. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan Bahasa Melayu Pontianak, atau Banjarmasin, atau Samarinda, atau Maluku, atau Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan pertama suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhirpun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, ia sebagai lingua franca, Bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia. Pada tahun 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia masih dijajah Inggris. Malaysia, Brunei, dan Singapura masih dijajah Inggris. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di negara-negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara. Dengan memilih Bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu lagi seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan.Bahasa Indonesia yang sudah dipilih ini kemudian distandardisasi (dibakukan) lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini sudah dilakukan pada zaman Penjajahan Jepang.

Pada umumnya orang mengetahui bahwa bahasa lndonesia yang sekarang berasal dari bahasa Melayu. Istilah bahasa Melayu sendiri mengacu pada bahasa Melayu Riau, yaitu bahasa Melayu yang diajarkan di sekolah-sekolah sebelum Perang Dunia II berkecamuk. Beberapa bahasa daerah juga memberikan sumbangan kepada bahasa Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan lain-lain. Bahkan, bahasa Indonesia juga mendapat sumbangan dari bahasa Barat. Penerbitan buku di Leiden dengan judul EuropeanLoan Words in Indonesian: A Checklist of Words of European Origin in Bahasa Indonesia and Traditional Malay tahun 1983 mengingatkan tentang sumbangan bahasa-bahasa Barat kepada bahasa Indonesia.“Apa sumbangan bahasa Melayu Riau terhadap bahasa Indonesia? Akankah semua kata yang berada dalam kamus Melayu dimasukkan ke dalam bahasa Indonesia? Bagaimana dengan tata bahasanya?” Penulis memperkirakan hal ini sama dengan berbagai buku tentang gramatika bahasa Melayu yang juga dapat dianggap membicarakan bahasa Indonesia.

A. PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SEBELUM MERDEKA

Pada dasarnya bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa perhubungan antar suku di nusantara dan sebagai bahasa yang digunakan dalam perdagangan antara pedagang dari dalam nusantara dan dari luar nusantara.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak lebih jelas dari berbagai peninggalan – peninggalan, misalnya :

  • Tulisan yang terdapat pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh pada tahun 1380 M.
  • Prasasti Kedukan Bukit, di Palembang, pada tahun 683.
  • Prasasti Talang Tuo, di Palembang, pada tahun 684.
  • Prasasti Kota Kapur, di Bangka Barat, pada tahun 686.
  • Prasasti Karang Brahi Bangko, Merangi, Jambi, pada tahun 688.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama islam di wilayah nusantara. Serta makin berkembang dan bertambah kokoh keberadaannya, karena bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat nusantara sebagai bahasa perhubungan antar pulau, antar suku, antar pedagang, antar bangsa dan antar kerajaan.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan rasa persatuan bangsa Indonesia oleh karena itu para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928)

B. PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA SESUDAH MERDEKA

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok nusantara berkumpul dalam rapat, para pemuda berikrar

  1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
  2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
  3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama “Sumpah Pemuda”. Unsur yang ketiga dari “Sumpah Pemuda” merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 bahasa Indonesia di kokohkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada taggal 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang – Undang dasar 1945 di sahkan sebagai Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Di dalam UUD 1945 disebutkan bahwa “Bahasa Negara Adalah Bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36)

Prolamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengkukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia.

C. PERANAN BAHASA INDONESIA

Peranan bahasa bagi bangsa Indonesia adalah bahasa merupakan sarana utama untuk berpikir dan bernalar, seperti yang telah dikemukakan bahwa manusia berpikir tidak hanya dengan otak. Dengan bahasa ini pula manusia menyampaikan hasil pemikiran dan penalaran, sikap, serta perasannya. Bahasa juga berperan sebagai alat penerus dan pengembang kebudayaan. Melalui bahasa nilai – nilai dalam masyarakat dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Didalam suatu masyarakat, bahasa mempunyai suatu peranan yang penting dalam mempersatukan anggotanya. Sekelompok manusia yang menggunakan bahasa yang sama akan merasakan adanya ikatan batin di antara sesamanya.

D. FUNGSI BAHASA INDONESIA

Bagi bangsa Indonesia, bahasa Indonesia tidak hanya sekedar alat komunikasi. Tetapi bahasa Indonesia juga merupakan kekayaan nasional yang sangat berharga dan dapat mempersatukan suku – suku bangsa, serta menunjukkan jati diri bangsa Indonesia.

Selain itu bahasa Indonesia mempunyai fungsi, yaitu :

  1. Sebagai lambang kebanggaan nasional.
  2. Sebagai lambang identitas nasional.
  3. Sarana penyatuan bangsa dan sarana perhubungan antar budaya.
  4. Sebagai bahasa pengantar resmi di lembaga – lembaga pendidikan.