Minggu, 16 Januari 2011

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN : PELAKU DOSA BESAR

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN : PELAKU DOSA BESAR

A. ALIRAN KHAWARIJ

Ciri yang menonjol dari aliran Khawarij adalah watak ekstrimitas dalam memutuskan persoalan-persoalan kalam. Hal ini di samping didukung oleh watak kerasnya akibat kondisi geografis gurun pasir, juga dibangun atas dasar pemahaman tekstual atas nas-nas Al-qur’an dan Hadits. Tak heran kalau aliran ini memiliki pandangan ekstrim pula tentang status pelaku dosa besar, berdasarkan firman Allah pada surat Al-Maidah ayat 44.

!4 `tBur óO©9 Oä3øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrãÏÿ»s3ø9$# ÇÍÍÈ

Artinya : “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah , maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” ( Q.S. Al-Maidah (5): 44)

Secara umum subsekte aliran Khawarij sependapat bahwa pelaku dosa besar dianggap kafir, masing-masing berbeda pendapat tentang pelaku dosa besar yang diberi predikat kafir. Menurut subsekte Al-Muhakimat, hukum kafir ini pun mereka luaskan artinya sehingga termasuk orang yang berbuat dosa besar. Berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya menyebabkan pelakunya telah keluar dari Islam. Menurut subsekte Azariqah, mereka menganggap kafir tidak saja kapada orang-oramg yang telah melakukan perbuatan hina, seperti membunuh, berzina, dan sebagainya, tetapi juga terhadap semua orang Islam yang tidak sefaham dengan mereka. Bahkan, orang Islam yng sepfaham dengan mereka, tetapi tidak mau berhijrah ke dalam lingkungan mereka juga dipandang kafir, bahkan musyrik. Menurut subsekte

An-Najdat, mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar menjadi kafir dan kekal didalamnya. Adapun pengikutnya , jika mengerjakan dosa besar tetap mendapatkan siksaan di neraka, tetapi pada akhirnya akan masuk surga juga. Menurut subsekte

As-Sufriah, membagi dosa besar dalam dua bagian, yaitu dosa yang ada sanksinya di dunia, seperti membunuh dan berzina, dan dosa yang tak ada sanksinya di dunia, seperti meninggalkan shalat dan puasa. Kesimpulannya dosa kategori pertama dipandang tidak kafir, sedangkan dosa kategori kedua dipandang kafir.

B. ALIRAN MURJI’AH

Secara garis besar, sebagaimana telah dijelaskan, subsekte Khawarij dapat dikategorikan dalam dua kategori: ektrim dan moderat. Menurut Harun Nasution berpendapat bawa subsekte Murji’ah yang ektrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak didalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya merupakan refleksi dari apa yang ada didalam kalbu. Kredo kelompok Murji’ah ekstrim yang terkenal adalah perbuatan maksiat tidak dapat menggugurkan keimanan sebagaimana ketaatan tidak dapat membawa kekufuran. Dapat disimpulkan bahwa Murji’ah ekstrim memandang pelaku dosa besar tidak akan disiksa di neraka. Adapun Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya, bergantung pada ukuran dosa yang dilakukannya. Di antara subsekta Murji’ah yang masuk dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Ia berpendapat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, tetapi dosa yang diperbuatnya bukan berarti tidak berimplikasi. Seandainya masuk neraka, karena Allah menghendakinya, ia tak akan kekal didalamnya.

C. ALIRAN MU’TAZILAH

Setiap pelaku dosa besar, menurut Mu’tazilah, berada di posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir (al-manzilah bain al-manzilatain). Jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya lebih ringan dari pada siksaan orang kafir.

D. ALIRAN ASY’ARIYAH

Al-asy’ari sebagai wakil Ahl asunnah, tidak mengkafirkan orang yang sujud kepada baitullah (Ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar seperti berzinah dan mencuri. Menurutnya mereka masih tetap sbagai orang yang beriman dengan keimanan yang dimiliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi jika dosa besar itu dilakukannya dengan anggapan bahwa hal itu dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamanya, ia dipandang kafir.

Adapun balasan di akhirat kelak bagi pelaku dosa besar jika dia meninggal dan tidak sempat bertobatmaka menurut Al-asy’ari, hal ini tergantung pada kebijakan Tuhan, dapat saja mengampuni dosanya atau juga mendapat syafa’at dari nabi Muhammad SAW.

E. ALIRAN MATURIDIYAH

Aliran maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat menyatakan bahwa pelakudosa masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya, Adapun balasan yang diperolehnya kelak di akhirat bergantung pada apa yang dilakukan nya di dunia.

Al-maturidiyah, berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat . hal itu di karenakan Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatanya . kekal dalam neraka adalah balasan bagi orang yang berbuat dosa syirik. Menurut al-maturidi, iman itu cukup dengan tashdiq dan iqrar, sedangkan amal adalah penyempurnaan iman.

F. ALIRAN SYI’AH ZAIDIYAH

Penganutsyi’ah zaidiyah percaya bahwa, orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka, jika ia belum tobat dengan tobat yang sesungguhnya.

G. ANALISIS

Aliran yang berpandangan bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin, menjelaskan bahwa andaikata dimasukan kedalam neraka, ia tak akan kekal di dalam nya. Sebaliknya aliran yang berpendapat bahwa pelaku doa besar bukan lagi mukmin berpendapat bahwa di akhirat ia akan dimasukan ke neraka dan kekal di dalamnya.

Perbedaan pandangan mengenai pelaku dosa besar, jika di tinjau dari sudut pandang wa’d wa’id, dapat dioklasifikasikan menjadi dua kubu utama, yaitu kubu radikal dan kubu moderat. Kubu radikal diwakili oleh khawarij dan Mu’tazilah, sementara sisanya merupakan kubu moderat.

Kamis, 13 Januari 2011

MAKALAH

‘AAM DAN KHASH

Oleh:

EVI MUKHARROFIN

EVITA DWI WAHYUNI

FARIHATUS SHINAH

IDA NUR WAKHIDAH

IRMA ERVIANA

MADRASAH ALIYAH MA’ARIF 7 SUNAN DRAJAT

BANJARWATI PACIRAN LAMONGAN

TAHUN PELAJARAN 2010/2011


‘AAM DAN KHASH

A. ‘Aam

Al-‘Aam (keumuman) ialah lafal yang menunjukkan pengertian yang meliputi seluruh satuan pengertian yang dipahami, seperti:

¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ

Artinya: “Sesungguhnya Manusia itu dalam kerugian”. (Q.S. Al-Ashr: 2)

Lafal insan adalah umum yakni menunjukkan pengertian menyeluruh atas semua orang. Maka apabila lafal itu di uraikan ia pun kembali kepada seluruh orang-orang yang dimaksud oleh pengertian itu yang ditetapkan baginya. Kata “Insan” agar hukumannya menunjukkan begini sedangkan khash (kekhususan) adalah kebalikan dari “Aam.

  1. Pembahasan ‘Aam.

‘Aam adalah kata yang dibentuk untuk menunjukkan arti yang mencakup seluruh satuan-satuan yang pantas untuknya kata-kata kerja dan makna di sifati dengan sifat umum, sehingga tidak bisa diucapkan pemberian seseorang adalah umum, karena pemberian seseorang kepada Zaid berbeda pemberiannya kepada Umar dari aspek bahwa pemberian adalah sebuah perbuatan itu satu yang berupa pemberian yang penisbatannya kepada Zaid dan Umar adalah satu. Tidak boleh diucapkan ada itu ‘Aam, karena keteraturannya pada sosok dan sifat, karena tidak ada dalam wujud satu makna yang homonim di antara hal-hal yang wujud, sekalipun harfiyahnya menurut akal satu.

Dengan ini jelaslah makna ungkapan kita bahwa umum adalah termasuk karakter – karakter kata dari aspek penunjukannya pada beberapa makna, sehingga makna dan kata kerja tidak disifati dengan umum. Ibn Al Hammam memilih bahwa makna terkadang di sifati umum secara harfiyah sehingga umum menjadi yang musytarah yang maknawi diantara keduanya.

Hal ini didasarkan pada bahwa makna umum komprehensip (syumul) kepada sesuatu karena makna yang beragam. Masing-masing makna dan kata adalah obyek pembicaraan kekoprehensifan ini. Dan di jelaskan bahwa perbedaan ada pada hal yang sifatnya lafdziy, yang kemunculannya diakibatkan dalam perbedaan dalam makna yang umum yaitu kekomprehensifannya (syumul) sesuatu karena makna yang beragam yang dianggap sebagai kesendirian sesuatu yang komprehensif adalah wujudnya yang mencegah penyebutan secara harfiyah pada maknanya karena sesuatu itu tidak memiliki sifat keumuman, kecuali makna yang ditangkap dalam hati, dan menurut ulama Ushul wujudnya tidak pernah ada.

  1. Bentuk Kata Yang Umum

Bentuk – bentuk keumuman ialah isim – isim syarat dan istifham (kata tanya) dan maushul (kata sambung) dan kata yang dibentuk dengan “Al” untuk jenis dan nakiroh menafikan dan jamak yang dibentuk dengan “Laam” dan idhafah (aneksi).

  1. Kapan diperkenankan menggunakan (Al-‘Aam)?

Telah diterangkan bahwa kata yang umum itu meliputi seluruh satuan – satuannya dan kadang terjadi takhsish (pengkhususan) sebagaimana yang akan dijelaskan. Bila dikhususkan maka kata yang umum tersebut tidak meliputi kecuali apa yang dimaksud oleh kata yang khusus (Al-Khash) itu. Jika kata yang umum di riwayatkan kepada seorang ahli Fiqih, apakah boleh baginya untuk menetapkan hukum dengan keumuman kata tersebut tanpa meneliti dalil-dalil syara’ yang lain yang mengkhususkannya atau dia menunda untuk menetapkan hukum sehingga meneliti lebih dahulu kata yang kengkhususkan? Bila kata wajibnya untuk meneliti, maka sampai batas manakah wajibnya menunggu itu? Apakah sampai hal itu memenuhi dugaannya?

Banyak ahli ushul meriwayatkan adanya ijma’ (yang menegaskan) atas ketidakbolehan menggunakan kata yang umum sebelum meneliti dalil-dalil yang mengkhususkannya.

Al-Ghazali berkata: tidak ada perbedaan pendapat dalam hal bahwa tidak boleh tergesa-gesa menetapkan hukum dengan yang umum sebelum mencari dalil-dalil yang kenghususkannya. Karena kata yang umum dapat menjadi dalil dengan syarat tidak adanya kata yang mutakhsish, sementara syaratnya belum tampak Ijma’ ini juga diriwayatkan oleh orang lain seperti Al-Almudi dan Ibnu Al-Hajib.

Riwayat ini musykil, karena ungkapan Al-Baidhawi dalam (Al-Minhaj) menunjukkan bahwa masalah itu adalah obyek perselisihan dimana ia bekata: Kata yang umum di jadikan dalil selama tidak tampak kata yang mentakhsisnya. Ibnu suraij mewajibkan pencariannya kemudian berdalil atas pendapatannya. Al-Asnawi berkata: Dalam masalah itu ada dua pendapatan madzhab: Al-Shairafi membolehkannya dan Ibnu Suraij melarangnya. Demikian yang diceritakan oleh Al-Imam dan pengikut-pengikutnya serta tidak mengunggulkan salah satu dari keduanya dalam kedua kitabnya (Al-Mahsul dan Al-Muntakhab) akan tetapi ia menjawab dalil Ibnu Suraij dan di dalam jawabannya itu terdapat kecenderungan kepada kebolehan menggunakan kata yang umum sebagai dalil. Oleh karena itu penulis kitab (Al-Hasil) menjelaskan bahwa pendapat itulah yang terpilih, kemudian pengarangnya menyebutkan pendapat itu dalam kitab tersebut, akan tetapi ia memutuskan pelarangan menggunakan kata yang umum sebagai dalil dalam (kitab Al-Mahsul) pada pembinaan terakhir atas penundaan keterangan tentang masa pembicaraan (waktu Khithab).

Ulama’ periode akhir berkeinginan menggabungkan antara pendapat orang yang menyebutkan Ijma’ atas ketidak bolehan menggunakan kata yang umum (al-‘Aam) sebelum meneliti dalil yang kenghususkannya dan pendapat Al-Shairafi bahwa perbedaannya hanya dalam keyakinan tentang kata yang umum sebelum masuknya waktu yang menggunakannya, beliau menyebutkan ketika pendapat yang umum dan belum masuk waktu menggunakannya, maka harus meyakini keutamaannya, kemudian jika ada yang mengkhususkannya, maka berubahlah keyakinan itu, Demikianlah pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Al-Haramain, Al-Mahmudi dan lainnya.

Adakalanya dikatakan bahwa membedakan antara meyakini kata yang umum dan menggunakannya adalah keputusan dengan pendapatan sendiri, karena keyakinan itu adalah menggunakannya itu sendiri. Ungkapan Al-Baidhawi tidak mengandung ta’wil itu maka tidak alasan mengatakan bahwa masalah itu adalah khilafiyah khususnya Ibn Al-Subki mengatakan sesuai apa yang telah di ceritakan oleh orang yang mensyarahi kitab (Al-Tahrir) darinya bahwa anggapan Ijma’ atas keharusan meneliti dalil yang mentakhisish kata yang umum adalah tercegah, maka masalah itu populer dengan perbedaan pendapat diantara para imam kita, ini diceritakan oleh Al-Ustadz Abu Ishaq Al-Asyfarayini dan Syekh Abu Ishaq Al-Syirazi serta orang – orang yang memperluas pembicaraannya demikian juga Al-Imam Al-Razi dan pengikuti – pengikutnya.

Ungkapan Abu Ishaq Al-Syirazi dalam kitab Al-Luma’: ketika terdapat lafal – lafal umum, apakah harus meyakini keumumannya dan menggunakannya sesuai dengannya sebelum meneliti lafal yang menghususkannya? Sahabat – sahabat kami berbeda pendapat di dalamnya.

Ada yang berbendapat harus ada keyakinan yang kuat dan ketenangan hati bahwa tidak ada dalil, adapun ketika seseorang merasakan adanya kebolehan ganjil dan tidak menentramkan hatinya akan kemungkinan itu, maka bagaimana dia menetapkan hukum dengan dalil yang memperbolehkan menetapkan hukum haram? Segolongan ulama’ berpendapat harus dipastikan ketidakadaan dalil-dalil itu dan itulah pendapat Al-Qadhi, karena keyakinan yang pasti tanpa dalil yang pasti adalah kebodohan.

Kedua pendapat terakhir adalah sama, karena tujuan keduanya adalah terjadinya keyakinan yang pasti akan ketidakadaan yang kengkhususkan yang unggul adalah pendapat pertama, karena memastikan dengan ketidakadaan dalil yang mengkhususkan tidak di anggap dan yang harus hanyalah pencurahan tenaga hingga terjadi duganaan kuat dan ini adalah tujuan yang dibebankan terhadap para mujthahidin.[1]

  1. Ruang Lingkup ‘Aam

Setiap lafadz (kata) mengandung dua lingkup pembahasan yaitu (1) Lafadz itu sendiri, yang tersusun dari huruf – huruf dan (2) makna atau arti yang terkadung dalam lafadz itu.

Para ulama’ ushul membahas persoalan tentang lafadz ‘Aam, khusush, mutlaq dan muqoyyad dalam konteks “Apakah berada dalam lingkup ladadz atau lingkup makna”.

1. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa ‘Aam itu pada hakikatnya berada dalam lingkup lafadz. Karena ia menunjukkan pengertian yang terkandung di dalamnya.

2. Sebagian kecil ulama’ berpendapat bahwa ‘Aam itu juga menyangkut makna.

3. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa lafadz ‘Aam dapat juga digunakan untuk makna, Namun penggunaan untuk makna itu hanya secara majazi, bukan dalam penggunaan yang sebelumnya, sebab kalau ia hakikatnya untuk makna, tentu akan berlaku untuk setiap makna, ini merupakan tidak demikian halnya, karena itu, jelaslah bahwa ternyata tidak demikian halnya. Karena itu, jelaslah bahwa ‘Aam dan mutlak itu menyangkut lafadz atua ucapan. Umum itu juga tidak berlaku untuk “perbuatan” karena perbuatan itu berlaku terhadap satu keadaan dalam satu tingkatan” sedangkan ‘Aam mencakup segala sesuatu yang berbeda – beda.

4. Daqhi Abdul Wahhab berpendapat bahwa tidak ada yang dapat dikaitkan kepada ‘Aam kecuali hanya lafadz.

5. As-Sarkhisi (dari kalangan ulama’ hanafi) berpendapat bahwa ‘Aam tidak dapat digunakan pada makna kecuali bila penggunaannya hanya secara lajazi, karenanya perlu penjelasan untuk itu.

6. Segolongan ulama’ Irak berpendapat bahwa ‘Aam itu dapat digunakan untuk perbuatan dan hukum, dalam arti menanggungkan ucapan pada umumnya khitab meskipun tidak ada sasaran akhirnya.[2]

B. Khash(khusus)

Menurut bahasa khash artinya tertentu, sedangkan menurut istilah ushul fiqih khash ialah lafadz yang mengandung dan menunjukkan kepada makna tertentu kepada kecuali ada Qarina yang menunjukkan kepada makna lain. Artinya lafadz yang khash tersebut telah mengandung makna yang jelas baik jenis, jumlah, bentuk maupun ketentuan lainnya. Jika suatu nas mengandung arti khash maka dapat ditetapkan sebuah hukum yang pasti.Selama tidak terdapat dalil yang mentakwilnya, atau menghendaki arti lain dari padanya.

Kekhususan itu meliputi muthlaq dan muqoyyad, amr (perintah), nahi (larangan), dan ‘adad (bilangan). Pembahasan tiga cakupan pertama adalah tugas dari ilmu ini, karena ini adalah dasar tasyri’lafzhi.

1. Contoh-contoh lafadz khash

Lafadz khash dalam Al-Qur’an menggunakan beberapa bentuk kata yang semuanya menunjukkan kepada kejelasan arti dan makna yang dikandungnya. Contohnya antara lain :

a. Jelas bilangannya, contoh :

Maka kafarat (melanggar) sumpah

ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB

“Itu adalah memberi”sepuluh orang miskin (Q.S.Al-Maidah: 89)

b. Jelas keadaannya

4 .`ÏB Ï÷èt/ 7p§Ï¹ur ÓÅ»qム!$pkÍ5 ÷rr& AûøïyŠ 3

“Sesudah dipenuhi”wasiat yang ia buat atau sudah dibayar utangnya.

c. Jelas jenisnya. contoh

ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ̓ÌYσø:$#

Di haramkan bagimu (memakan bangkai,darah,dan daging babi)[3]

2. Pengertian khash

Pengertian khash (khusus) adalah lawan dari pengertian ‘Aam (umum). Dengan demikian bila telah mamahami pengertian lafadz ‘Aam secara tidak langsung. Juga dapat memahami pengertian lafadz khash. Karenanya tidak semua penulis yang menguraiakan tentang lafadz khash dalam bukunya memberikan pengertian lafadz khash itu secara definitife.

Al-amidi sebelum mengemukakan definisi, ia mengkritik penulis yang mendefinisikan khash dengan :” setiap lafadz yang bukan lafadz ‘Aam.

Sedangkan definisi khash yang diajukan al-amidi adalah satu lafadz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.

Definisi yang sedikit berbeda yang dirumuskan Al-Khudahari Belk ialah Lafadz yang dari segi kebahasaan ditentukan untuk satu arti secara mandiri.

Menurut definisi terakhir ini lafadz khash itu ditentukan untuk satu satuan secara perorangan seperti si Ali atau satu satuan secara kelompokseperti laki-laki atau beberapa satuan yang jumlahnya tidak terbatas seperti “kaum” atau lafadz lain dalam bentuk satuan yang tak terbatas, tetapi tidak menunjukkan seluruh satuannya (yang masuk dalam satuan’am)

Khusush adalah lafadz yang mencakup sebagian makna yang pantas baginya dan tidak untuk semuanya. Dengan demikian dapat dibedakan antara khash dengan khusush meskipun dalam pengertian bahasa Indonesia sering disamakan.

Pengertian khash adalah apa yang sebenarnay dikehendaki adalah sebagian yang dikandung oleh lafadz, Sedangkan pengertian khusus adalah apa yang dikhususkan menurut ketentuan bahasa, bukan berdasarkan kamuan.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa khash itu adalah apa yang mencapai kapada sesuatu yang tertentu melalui ketentuan bahasa. Sedangkan khusush adalah apa yng mencapai sesuatu bukan yang lainnya. Namun boleh mencapai yang lainnya itu

3. Ketentuan Lafadz Khash dalam Garis Besarnya.

a. Bila lafadz khash lahir dalam bentuk nash syara’(teks hukum) ia menunjukkan artinya yang khas secara Qath’i al Dialah (penunjukan yang pasti dan menyakinkan) yang secara hakiki ditentukan untuk itu.Hukum yang berlaku pada apa yang dituju oleh lafadz itu dalah Qath’i.

b. Bila ada dalil yang menghendaki (pemahaman lain) dari lafadz khas itukepada arti lain,mak arti khas itu dapat dialihkan kepada apa yang dia kehendaki oleh dalil itu. Umpamanya sabda nabi:

فى كل اربعين شاة شاة

“Untuk setiap ekor kambing (zakatnya) satu ekor kambing”

c. Bila dalam suatu kasus hukumnya bersifat “ ’am ” dan di temukan pula hukum yang “Khusus” dalam kasus lain, maka lafadz khas itu membatasi pemberlakuan hokum ‘am itu. Maksudnya lafadz khas itu menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam lafadz ‘am itu hanya sebagian afradnya saja yaitu sebagian yang tidak disebutkan dalam lafadz khas.

d. Bila ditemukan pembenturan antara dalil khas dengan dalil ‘am terdapat perbedaan pendapat.

1) Menurut ulama Hanafiyah seandainya kedua dalil itu bersamaan masanya ,maka dalil khasmentakhsiskan yang ‘am karena tersedianya persyaratan untuk takhsish. Bila keduanya tidak bersamaan waktunya disisni ada dua kemungkinan (1). Bila lafadz ‘am terkemudian datangnya mak lafadz ‘am itu menasakh lafadz khas. (2). Bila lafadz khas yang terkemudian datangnya maka lafadz lafadz khas itu menasakh lafadz ‘am dalam sebagian mufrodnya.

2) Menurut jumhur ulama’tidak tergambar adanya pembenturan antara dalil ‘am dengan dalil khusush karena keduanya bila datang pada waktu bersamaan maka yang khas memberi penjelasan terhadap yang ‘am karena yang umum itu adalah dalam bentuk lahir yang tetap berkemungkinan untuk menerima penjelasan disamping untuk diamalkan menurut keumumanya hingga dikatahui adanya dalil khash. Lafadz khash itulah yang menjelaskan lafadz ‘am.[4]


SOAL

1. A’am tidak dapat digunakan pada makna kecuali bila penggunaanya hanya secara majazi’.karena penjalasan adalah pendapat dari……..

a. As-sarktusi c. Abu Ishaq

b. Qodhi bdul Wahab d. Al-Ghozali

Jawaban A

2. Berikut ini bentuk kata A’am adalah kecuali…………..

a. Istifham c. Amar

b. Idhofah d. Malishul

Jawaban C

3. ÿ¼çmè?t»¤ÿs3sù ãP$yèôÛÎ) ÍouŽ|³tã tûüÅ3»|¡tB

Lafadz diatas adalah contoh khas yang dilihat dari kejelasan?

a. Jenisnya c. Sebabnya

b. Keadaanya d. Bilangannya

Jawabanya D

4. Apa arti lafadz tersebut?

a. Darah daging c. Memakan bangkai

b. Sesudah dibayar utangnya d. Belum bayar utang

Jawabanya B

5. فى كل اربعين شاة شاة

Maksud cdari sabda diatas adalah

a. Suatu kasus adalah sifatnya bersifat ‘am c.Dalildari pngertian khash

b. Dalil yang menghendaki (pemahaman lain) d.Dalil Ruang lingkup am

Jawabanya B


DAFTAR PUSTAKA

Blek, syaikh Muhammad Al-Khudari .Usul Fiqih (Jakarta:Pustaka Amani,2007)

As’ad, Mahrus,sy, Ahmad Wahid, Memahami fiqih MA kelas XII. (Bandung): CV.amirico, 2006)

Syarifudin, Amir Ushul Fiqih (Jakarta:Kencana Prenada Media Group ,2009)



[1] Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fikih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), 316

[2] Prof. Dr. It. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), 68

[3] Drs. H, Mahrus As’ad, M.Ag, Drs. A. Wahid Sy. M.Ag. (Memahami Fiqih, Kelas XII, Bandung CV, Armico: 2006) 78

[4] Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009) 86

SALAF
(Ibn Hanbal dan Ibn Taimiyah)

Menurut Thablawi Mahmud Sa’ad Salaf artinya ulama terdahulu. Sedangkan menurut As-Sahrastani ulama salaf adalah yang tidak menggunakan Ta’wil (dalam penafsiran ayat-ayat mutasabihat) dan tidak mempunyai faham tasybih (antharopomorshiphisme).
Ibnu Madzkur menguraikan karakteristik ulama salaf atau salafiyah sebagai berikut:
1. Mereka lebih mendahulukan riwayat (Naql) daripada dirayah (aqil).
2. Dalam persoalan-persoalan pokok-pokok agama (ushuluddin) dan persoalan-persoalan cabang agama (faru’ ad-din).
3. Mereka mengimani Allah tanpa perenungan lebih lanjut (tentang dzat-Nya) dan tidak.
4. Mereka memahami ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan ma’na lahirnya dan tidak berupaya untuk menakwilkannya.
Beberapa ulama salaf dengan beberapa pemikirannya. Terutama yang berkaitan dengan persoalan – persoalan kalam:
A. Imam Ahmad Bin Hanbal
1) Riwayat singkat hidup Ibn Hanbal
Ia dilahirkan di Bahdad tahun 164 H / 780 M. Dan meninggal 241 H/855 M. Sering dipanggil Abu Abdillah karena salah seorang anaknya bernama Abdillah. Namun, ia lebih dikenal dengan nama Imam Hanbal karena merupakan pendiri madzhab Hambali.
Ibn Hanbal dikenal sebagai seorang Zahir. Hampir setiap hari ia berpuasa dan hanya tidur sebentar di malam hari ia juga dikenal sebagai seorang dermawan.
2) Pemikiran teori Ibn Hanbal
a. Tentang ayat – ayat Mutasyabihat
b. Tentang status Al-Qur’an
B. Ibn Taimiyah
1) Riwayat Singkat Ibn Taimiyah
Nama lengkap Ibn Taimiyah adalah Tadiyuddin Ahmad bin Abi Al-Halim bin Taimiyah. Dilahirkan di Harran pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awwal tahun 661 H dan meninggal di penjara pada malam senin tanggal 20 Dzul Qo’dah tahun 729 H.
Ibn Taimiyah terkenal sangat cerdas sehingga pada usia 17 thn. Ia telah dipercaya masyarakat untuk memberikan pandangan – pandangan mengenai masalah hukum secara resmi.
2) Pemikiran Teologi Ibn Taimiyah
Pikiran – pikiran Ibn Taimiyah seperti dikatakan Ibrahim Madzkur dan memiliki pandangan – pandangan tentang sifat – sifat Allah.
a) Percaya sepenuh hati terhadap sifat – sifat Allah yang ia sendiri atau Rasulnya menyifati seperti:
1. Sifat Salbiyah yaitu: Qidam, Baqo’, Mukhalafadhu lil hawaditsi, hiyamuhu binafsihi dan wahdaniyah.
2. Sifat Ma’ani yaitu: Qudrah, irodah, sama, bashar, hayat, Ilmu, dan kalam, dll.
b) Percaya sepenuhnya terhadap nama – namanya, yang Allah atau Rasul-Nya sebutkan. Seperti Al-Awwal, Al-Akhir, Azh-Zhahir. Al-Bathin, Al-Alim, Al-Qadir, Al-Hayya, Al-Hayyum, As-Sami, dan Al-Bashir.
c) Menerima sepenuhnya sifat dan nama Allah tersebut dengan:
1. Tidak menghilangkan pengertian lafaz-lafaz (minghoir Ta’thil)
2. Tidak mengubah maknanya pada makna yang tidak dikehendaki lafaz (min ghoir tahrif)
3. Tidak mengingkarinya (min ghair ilhad)
Berdasarkan alasan diatas, Ibn Taimiyah tidak menyetujui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat, menurutnya ayat atau hadits yang menyangkut sifat-sifat Allah harus diterima dan diartikan sebagaimana adanya, dengan catatan tidak mentaf-simkan, tidak menyerupakan-Nya dengan makhluk dan tidak bertanya-tanya tentangnya.

KHALAF : AHLUSSUNNAH (AL-ASY’ARY DAN AL-MATURIDI)
Ungkapan Ahlussunnah (Sering disebut juga dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu Umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok syi’ah. Dalam pengertian ini, mu’tazilah sebagaimana juga Asy’ariyah masuk dalam barisan Sunni. Sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariyah dan merupakan lawan Mu’tazilah, pengertian keduanya inilah yang dipakai dalam pembahasan ini.
A. Al-Asy’ari
1. Riwayat Lengkap Al-Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Hasan Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari.
Menurut Ibn Asakir, Ayat Al-Asy’ari adalah seorang yang berfaham Ahlussunnah dan ahli hadits. Tetapi Al-Asy’ari menganut faham Mu’tazilah hanya sampai ia berusia 40 tahun ketika berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat disana pada tahun 324 H / 935 M.
2. Dokrin – dokrin teologi Al-Asy’ari
Pemikiran – pemikiran Al-Asy’ari yang terpenting adalah berikut ini:
a. Tuhan dan sifat-sifatnya
b. Kebebasan dalam berkehendak (free will)
c. Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
d. Qadimnya Al-Qur’an
e. Melihat Allah
f. Keadilan
g. Kedudukan orang berdosa.
B. Al-Maturidi
1) Riwayat singkat Al-Maturidi
Abu Mansur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah samarkand, wilayah Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Tahun kelahirannya mtidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 H. Ia wafat tahun 333 H / 944 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih di konsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Ini dilakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham – faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam. Yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
2) Dokrin – dokrin teologi Al-Maturidi
a. Akal dan Wahyu
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3 macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu.
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
b. Perbuatan manusia
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan
d. Sifat tuhan
e. Melihat tuhan
f. Kalam tuhan
g. Perbuatan manusia
Setiap perbuatan tuhan yang bersifat menciptakan atau kewajiban – kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya kewajiban – kewajiban antara lain:
1. Tuhan tidak akan membebankan kewajiban – kewajiban kepada manusia di luar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan.
Manusia juga diberi kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan perbuatannya.
2. Hukuman atau ancaman dan janji tersebut karena merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
h. Pungutan Rasul
i. Pelaku dosa besar (Mintakib Al-Kabir)